Ketika menghadapi Korea Selatan, Indonesia tampil disiplin dengan strategi bertahan rapat dan mengandalkan serangan balik cepat. Dalam laga tersebut, Indonesia mencatatkan 47 sapuan dan 26 tekel, serta menggagalkan lebih dari 15 peluang lawan. Ini menunjukkan kemampuan bertahan yang sangat solid dari Garuda Muda.
Beranjak ke laga melawan Yaman, strategi berubah total. Nova memilih bermain terbuka dan menyerang. Hasilnya, Indonesia menciptakan 11 peluang dengan enam di antaranya tepat sasaran, berbanding sembilan peluang milik Yaman. Indonesia sukses mencetak empat gol, tiga di antaranya dari permainan terbuka dan satu dari penalti.
Pada laga ketiga melawan Afghanistan yang sudah tak memiliki peluang lolos, Nova memberi kesempatan kepada pemain lapis kedua. Meski begitu, dominasi tetap terlihat. Indonesia menguasai 52 persen bola dan sukses mencetak dua gol di menit-menit akhir, menunjukkan mental juara dan stamina yang terjaga.
Jika melihat perbandingan statistik fase grup, Indonesia lebih unggul dari Korea Utara, baik dari segi poin (9 vs 5), jumlah kemenangan (3 vs 1), jumlah gol (7 vs 6), hingga kebobolan (1 vs 3). Lini belakang Indonesia tampil tangguh dengan dua clean sheet, sementara Korea Utara hanya mencatat satu clean sheet dari tiga laga.
Namun, Korea Utara tidak bisa dianggap remeh. Mereka menunjukkan konsistensi di grup yang cukup ketat dengan menghadapi tim-tim tangguh seperti Iran dan Oman. Tim berjuluk Chollima itu juga punya sejarah mentereng di Piala Asia U-17 dengan dua gelar juara (2010 dan 2014) serta dua kali runner-up (2004 dan 2006).
