Konsep Machiya: Sentuhan Jepang, Jiwa Bandung
Atmos Bandung mengusung konsep desain Japanese Machiya — perpaduan antara estetika tradisional Jepang dan gaya modern urban Bandung.
Machiya bukan sekadar arsitektur, tapi juga filosofi hidup: keseimbangan antara fungsi, kehangatan, dan keindahan sederhana.
“Tujuan kami menghadirkan ruang yang bukan cuma estetik, tapi juga punya atmosfer yang immersive dan inspiratif,” jelas Herlina.
Di dalamnya, terdapat Otaku Room, ruang tematik khas atmos yang menghadirkan suasana Jepang otentik. Pengunjung bisa menikmati hand-drip coffee by Fuglen, matcha, atau Japanese cream soda sambil menjelajahi koleksi eksklusif sneakers dan karya seni yang dikurasi secara khusus.
Kolaborasi dengan Figur Kreatif Bandung
Sebagai bagian dari pembukaannya, atmos Bandung meluncurkan kampanye “Local Hero”, menggandeng empat sosok kreatif yang mewakili semangat dan karakter Bandung:
· Dendy Darman – creativepreneur dan pelopor desain independen
· Arin Sunaryo – seniman visual dengan pendekatan eksperimental
· Rekti Yoewono – musisi dan ikon skena alternatif
· Syagini Ratna Wulan – seniman kontemporer multidisiplin
Keempatnya dipilih bukan tanpa alasan — mereka adalah representasi nyata dari DNA Bandung: kreatif, berani bereksperimen, dan tak takut menabrak batas antara seni, musik, dan street culture.
BACA JUGA : HARI INI! Pawai Mobil Hias dan Konser Musik Ramaikan Malam Puncak HUT ke-215 Kota Bandung
Lebih dari Sekadar Toko, Ini Ruang Komunitas
Atmos Bandung bukan hanya flagship store, tapi juga ruang pertemuan antara ide, komunitas, dan inspirasi.
Desain ruangnya dibuat terbuka dan interaktif, memungkinkan terjadinya kolaborasi antara seniman, brand lokal, dan komunitas kreatif Bandung.
“Kami ingin atmos Bandung menjadi ruang hidup — tempat orang datang bukan hanya untuk belanja, tapi untuk terinspirasi dan terkoneksi,” tutup Herlina.
Dengan hadirnya atmos di Bandung, kota ini semakin kokoh sebagai pusat budaya urban dan fashion independen di Asia Tenggara.
Sebuah bukti bahwa kreativitas anak muda Bandung bukan cuma gaya — tapi gerakan.***






