“Nah, dari kaca mata kependudukan, itu sebenarnya sangat gampang kita urai. Persoalan itu adalah berkaitan dengan over population. Over population itu bukan hanya berkaitan dengan jumlahnya populasi kita, melainkan berkaitan dengan ketidakmampuan kita mengantisipasi jumlah penduduk yang lahir beyond the capacity of the government atau juga natural resources. Kita lihat misalnya sawah-sawah jadi hilang, jadi menggangu ketahanan pangan, dan seterusnya,” sambung Budi.
BACA JUGA: Pemerintah Pusat dan Pemkab Garut Perkuat Sinergi, Bonus Demografi Jadi Fokus Utama
Menurut Budi, sejumlah masalah tersebut muncul karena pemerintah tidak pernah menghitung secara kalkulatif kapasitas yang ada di satu daerah dan implikasinya. Tidak ada yang menghitung penduduk ideal di sebuah daerah atau bahkan di level negara.
Selama tidak memperhitungkan secara detail kapasitas daerah terhadap jumlah penduduk, maka yang terjadi adalah situasi yang tidak terkontrol. Wajar jika kemudian banyak kejadian yang muncuk tanpa terprediksi sebelumnya atau situasi yang tiba-tiba muncul di luar dugaan seperti banjir bandang.
“Ya, karena sawah-sawah menjadi rumah, menjadi tempat wisata, jadi pabrik. Akibatnya, air tidak bisa tertampung lagi. Kita itu katakan bolehlah mengonversi sawah menjadi perumahan, asalkan itu ada kompensasinya. Mungkin kalau begitu masih bisa terkendali,” Budi mencontohkan.
Guru besar bidang ilmu pemerintahan Universitas Diponegoro (Undip) ini kembali menegaskan bahwa masalah-masalah itu bermuara pada kependudukan. Karena itu, keberadaan Kementerian Kependudukan menjadi sangat strategis. Jika sebelumnya BKKBN hanya berorientasi pada pengendalian penduduk dan keluarga berencana, kini meluas menangani masalah kependudukan.