Balai Diklat KKB Dituntut Hadirkan Solusi Masalah Kependudukan

“Berapa jumlah penduduk yang lahir dan apa antisipasi pemerintah terhadap penduduk yang lahir tersebut? Kalau tidak dilakukan antisipasi, maka masalah yang kemudian akan muncul. Misalnya kita menghitung kalkulasi kebutuhan penduduk terhadap kesehatan. Kalau menurut rasio dari dunia kesehatan, misalnya puskesmas. Satu puskesmas itu idealnya hanya melayani maksimal itu 10 ribu penduduk. Nah, kalau satu daerah itu muncul tambahan penduduk katakanlah 20 ribu, berarti daerah itu harus bisa menyiapkan dua puskesmas,” urai Budi.

BACA JUGA: Generasi Z dan Gelombang Resign: Antara Tekanan Mental, Beban Kerja, dan Lingkungan yang Kurang Mendukung

Tidak idealnya rasio jumlah penduduk terhadap puskesmas tersebut kemudian memicu panjangnya antrean pasien. Layanan yang mestinya bisa dilakukan dalam waktu beberapa jam molor menjadi 2-3 hari atau lebih lama. Akibatnya, penyakit yang tadinya seketika bisa disembuhkan, karena harus menunggu 2-3 hari akibat pelayanan puskesmas kurang, penyakit pun bertambah atau mungkin malah memicu komplikasi.

Apa konsekuensi bagi Balai Diklat? Budi menegaskan Balai Diklat KKB harus mampu meningkatkan skill petugas lini lapangan atau bahkan seluruh pegawai. Balai Diklat harus memiliki kemampuan dan kapasitas untuk menjadikan tenaga lini lapangan sebagai pendamping, konsultan, instruktur, atau role model yang bisa ditanya oleh masyarakat, ditanya oleh pemerintah daerah.

“Tenaga lini lapangan kita sudah harus mulai di-training tentang pendidikan dan perencanaan pembangunan berbasis perpendudukkan. Pendidikan juga tidak hanya diberikan kepada petugas atau pejabat kita. Kita harus mampu melatih kepala desa, mahasiswa, dosen, termasuk wartawan,” tegas Budi.***