Fenomena “17+8 Tuntutan Rakyat”: Ketika Influencer Masuk ke Panggung Politik

BeritaBandungRaya.com  – Aksi unjuk rasa mahasiswa dan masyarakat sipil pada akhir Agustus 2025 membawa warna baru dalam pergerakan sosial Indonesia. Bukan hanya kampus, serikat buruh, atau organisasi masyarakat sipil yang bersuara, tetapi juga kalangan influencer. Dari ruang digital, mereka masuk ke jalanan dengan gagasan yang kemudian dikenal sebagai “17+8 Tuntutan Rakyat.”

Dari Konten ke Konsolidasi

Salah satu motor gerakan, Andovi da Lopez, mengaku ide ini lahir dari percakapan singkat bersama beberapa tokoh publik lain. Diskusi hanya berlangsung sekitar tiga jam, tetapi menghasilkan dokumen berisi puluhan tuntutan yang kini viral di media sosial.

Beberapa nama yang ikut dalam penyusunan di antaranya Jerome Polin, Salsa Erwina, Fathia Izzati, Andhyta Utami, Abigail Limuria, dan Cheryl Marella. Mereka bukan aktivis politik tradisional, melainkan figur digital dengan basis pengikut besar yang terbiasa menyampaikan pesan lewat bahasa populer.

“Kita bisa merangkum keresahan publik dengan cepat. Seharusnya DPR pun bisa lebih tanggap,” ujar Andovi saat ikut aksi di depan Gedung DPR/MPR RI.

BACA JUGA: “17+8 Tuntutan Rakyat”: Dari Media Sosial ke Jalanan, Saat Influencer Bicara Politik

Dua Lapisan Tuntutan

Format 17+8 merepresentasikan dua lapisan desakan publik.

  • 17 tuntutan mendesak: ditujukan pada isu-isu jangka pendek, mulai dari penyelidikan kasus kematian demonstran, penghentian keterlibatan TNI dalam urusan sipil, transparansi anggaran DPR, hingga perlindungan buruh dan pekerja informal. Tenggat waktu pelaksanaan ditetapkan hingga 5 September 2025.

  • 8 agenda reformasi: difokuskan pada perubahan struktural, seperti reformasi DPR dan partai politik, penguatan KPK, UU perampasan aset koruptor, reformasi kepolisian, hingga evaluasi kebijakan ekonomi. Agenda ini diberi waktu lebih panjang, hingga 31 Agustus 2026.

Publik Respon Cepat

Dokumen ini menyebar luas sejak akhir Agustus dan mendapat dukungan warganet. Banyak yang melihat daftar tuntutan tersebut sebagai representasi keresahan nyata masyarakat di tengah krisis politik dan sosial.

Menariknya, kecepatan penyusunan tuntutan ini menjadi bahan perbandingan dengan lambannya kinerja lembaga legislatif. Di media sosial, tidak sedikit komentar yang menyindir DPR seolah kalah sigap dibanding sekelompok influencer.