FOMO atau Strategi?
Tak dapat dimungkiri, fenomena FOMO (Fear of Missing Out) turut memengaruhi tren pembelian emas saat ini. Ketakutan tertinggal tren atau tidak ikut “cuan” sering membuat orang lupa prinsip dasar investasi: pahami risiko, gunakan dana yang aman, dan jangan tergoda keuntungan instan.
Faktanya, emas bukan instrumen untuk untung cepat. Buyback price yang lebih rendah dari harga beli membuat emas lebih cocok untuk investasi jangka menengah atau panjang. Sayangnya, banyak masyarakat membeli emas dengan dana darurat, bahkan ada yang berani berutang demi ikut “rebutan emas”. Padahal, risikonya jelas: jika harga terkoreksi atau kebutuhan mendesak datang, kerugian bisa tak terhindarkan.
Tetap Kilau, Tapi Tetap Waspada
Emas memang unik. Ia tak berjalan seiring saham, reksadana, atau obligasi. Bahkan dalam riset Brian Lucey dan Sile Li (2019), emas terbukti punya korelasi mendekati nol terhadap aset finansial lain. Justru karena sifatnya yang unpredictable dan mandiri, emas tetap jadi pilihan banyak orang saat pasar goyah.
Namun, jangan lupakan bahwa seperti semua investasi, emas pun punya risiko. Fluktuasi harga dunia, nilai tukar, hingga kondisi geopolitik bisa menggoyang harganya kapan saja. Karena itu, selain menyimpan, penting juga untuk belajar, mengamati tren, dan tidak gegabah.
Penutup: Bijak dalam Berkilau
Berinvestasi emas bisa menjadi keputusan cerdas, asalkan dilakukan dengan penuh pertimbangan. Edukasi finansial jadi kunci agar masyarakat tidak hanya sekadar mengikuti tren, tapi benar-benar memahami manfaat, risiko, dan strategi di balik tiap gram logam mulia yang mereka simpan.
Emas bukan sekadar kilau. Ia bisa jadi penyelamat masa depan—kalau kita tahu cara menggunakannya.
Selamat berinvestasi, semoga bukan karena FOMO, tapi karena paham.