Gen Z dan Dilema Karier: Antara Gaji Tinggi dan Kenyamanan Kerja

BeritaBandungRaya.com – Generasi Z mereka yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012 — kini sedang mendefinisikan ulang makna kesuksesan di dunia kerja. Tumbuh di era digital yang serba cepat dan penuh ketidakpastian ekonomi, Gen Z sering kali digambarkan sebagai generasi yang “ingin segalanya”: gaji tinggi, fleksibilitas, dan keseimbangan hidup. Tapi benarkah mereka lebih memilih uang di atas kenyamanan?

Riset terbaru menunjukkan bahwa jawabannya tidak sesederhana itu. Bagi Gen Z, karier bukan hanya tentang angka di slip gaji, tapi juga tentang rasa aman, lingkungan kerja yang sehat, dan kesempatan untuk berkembang sebagai individu.

BACA JUGA: Teka-teki Pengganti Patrick Kluivert: PSSI Gelar Rapat Penentuan Pelatih Baru Timnas Indonesia Hari Ini

Gaji Tetap Jadi Magnet, Tapi Bukan Segalanya

Tidak bisa dipungkiri, gaji dan kompensasi tetap menjadi prioritas utama bagi Gen Z. Di tengah biaya hidup yang terus naik, kebutuhan untuk melunasi utang pendidikan, hingga tanggung jawab sebagai “generasi sandwich”, stabilitas finansial menjadi pondasi utama rasa aman mereka.

Namun bagi banyak Gen Z, uang bukan satu-satunya alasan bertahan di sebuah pekerjaan. Mereka melihat gaji tinggi sebagai syarat dasar, bukan penghargaan. Ketika kebutuhan dasar sudah terpenuhi, faktor lain seperti keseimbangan hidup dan budaya kerja justru menjadi pembeda.

“Gen Z ingin merasa dihargai, bukan hanya dibayar,” tulis laporan dari Deloitte Millennial Survey 2025.

Work-Life Balance dan Kesejahteraan Mental Jadi Tolok Ukur Baru

Kenyamanan dan keseimbangan hidup kini berdiri sejajar dengan gaji. Bagi Gen Z, fleksibilitas kerja dan otonomi waktu adalah bentuk penghargaan yang sama pentingnya dengan bonus tahunan.

Mereka menolak sistem kerja kaku 9-to-5 dan mencari perusahaan yang memahami bahwa produktivitas tidak selalu berarti duduk di kantor delapan jam. Pilihan seperti hybrid work, remote system, atau jam kerja fleksibel jadi daya tarik utama.

Tak heran, job hopping di kalangan Gen Z meningkat — bukan semata karena mengejar kenaikan gaji, tapi karena mencari lingkungan kerja yang lebih sehat dan suportif. Budaya kerja toksik, kurangnya apresiasi, atau pimpinan yang tidak empatik menjadi alasan utama mereka angkat kaki.