Selain Asyura, Rasulullah SAW menganjurkan umat Islam untuk melaksanakan puasa Tasua pada 9 Muharram. Hadis riwayat Muslim juga menyebutkan keinginan Rasulullah: “Jika tiba tahun depan, insya Allah kami akan berpuasa pada hari kesembilan.” (HR. Muslim, no. 1134). Anjuran ini dimaknai sebagai bentuk pembeda dengan puasa yang dilakukan kaum Yahudi pada 10 Muharram.
Asal usul praktik puasa Asyura memang sering menjadi perbincangan. Ada anggapan bahwa puasa ini diadopsi dari tradisi Yahudi di Madinah yang juga berpuasa pada hari ketika Nabi Musa AS diselamatkan dari Firaun. Hadis riwayat Bukhari mencatat bahwa Rasulullah SAW mendapati orang Yahudi Madinah melaksanakan puasa pada hari Asyura sebagai wujud syukur atas keselamatan Musa. Nabi pun bersabda: “Akulah yang lebih utama terhadap Musa dibanding mereka.” (HR. Bukhari).
Namun penting dipahami bahwa Nabi Muhammad SAW sudah melaksanakan puasa Asyura sebelum hijrah ke Madinah. Dalam hadis sahih riwayat Bukhari dan Muslim dari Aisyah RA, disebutkan bahwa orang Quraisy pada masa jahiliyah sudah mengenal puasa Asyura, dan Rasulullah memerintahkan puasa tersebut hingga datangnya kewajiban puasa Ramadan.
Ulama seperti Ibnu Hajar al-Asqalani menjelaskan bahwa tradisi puasa Asyura yang dilakukan Quraisy diwarisi dari ajaran Nabi Ibrahim AS, sama seperti ibadah haji. Bahkan disebutkan dalam hadis Aisyah bahwa hari Asyura bertepatan dengan momen penutupan Ka’bah dengan kain kiswah. Ini menunjukkan nilai sejarah yang sangat dalam bagi masyarakat Arab sebelum Islam.