BeritaBandungRaya.com – Setiap 27 Oktober, bangsa Indonesia memperingati Hari Penerbangan Nasional, momen bersejarah yang menandai penerbangan pertama Komodor Udara Agustinus Adisutjipto dengan pesawat cureng pada 1945. Kini, delapan dekade kemudian, Indonesia tak hanya mengenang masa lalu, tapi juga menatap masa depan penerbangan yang lebih bersih dan berkelanjutan.
Salah satu langkah besar dalam perjalanan itu adalah penggunaan Sustainable Aviation Fuel (SAF) — bahan bakar ramah lingkungan yang dibuat dari minyak jelantah dan limbah organik. Pada Agustus 2025 lalu, Pelita Air mencatat sejarah dengan melaksanakan penerbangan komersial perdana Jakarta–Bali menggunakan campuran SAF produksi Pertamina.
Langkah tersebut menandai babak baru dalam transformasi energi di sektor aviasi nasional, sekaligus mengokohkan posisi Indonesia di peta inovasi penerbangan global.
Indonesia Menuju Era Aviasi Hijau
Industri penerbangan dunia menyumbang sekitar 2–3% dari total emisi karbon global, dan angka ini terus meningkat seiring melonjaknya trafik udara. Karena itu, banyak negara kini mulai menerapkan mandat SAF — aturan yang mewajibkan penggunaan campuran bahan bakar ramah lingkungan dalam setiap penerbangan.
Uni Eropa menargetkan campuran 2% SAF pada 2025, Brasil 10% pada 2037, sementara Singapura dan Malaysia masing-masing menyiapkan implementasi bertahap mulai 2026–2027.
Indonesia tak ingin tertinggal. Berdasarkan Peta Jalan Pengembangan SAF Nasional, pemerintah menargetkan campuran 1% SAF pada 2027, naik hingga 50% pada 2060, selaras dengan komitmen menuju Net Zero Emission di tahun yang sama.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), menegaskan pentingnya langkah ini.
“Pengembangan SAF adalah bagian dari solusi energi bersih dan masa depan industri penerbangan nasional. Ini juga bagian dari agenda besar transisi energi Indonesia menuju Net Zero Emission,” ujar AHY saat bertemu dengan jajaran Pertamina, Agustus lalu.










