Menurut Munawar Anzar, juru pelihara Candi Cangkuang, penemuan candi ini bermula dari laporan seorang warga Belanda bernama Vorderman dalam Notulen Bataviaasch Genootschap tahun 1893. Ia menulis tentang adanya arca Siwa dan makam tokoh bernama Arief Muhammad di Desa Cangkuang. Namun, situs itu baru benar-benar ditemukan kembali oleh tim peneliti dari Leles pada 9 Desember 1966, dipimpin oleh Harsoyo dan Uka Tjandrasasmita.

“Ketika ditemukan, hanya sekitar 40 persen batu aslinya yang masih utuh,” tutur Munawar. “Sisanya dibuat dari cetakan batu baru agar menyerupai bentuk aslinya. Pemugaran dilakukan antara tahun 1974 hingga 1976.”
Kini, bangunan candi yang berdiri megah di tengah danau menjadi bukti nyata bahwa pada masa lalu, pengaruh Hindu pernah mengakar kuat di wilayah Priangan Timur.
Islam Tumbuh di Kampung Pulo
Namun, di balik keagungan arca Siwa, tak jauh dari candi berdiri Kampung Pulo, perkampungan adat yang menjadi pusat penyebaran Islam pertama di Garut. Di sinilah Embah Dalem Arief Muhammad, panglima perang Kerajaan Mataram yang gagal menyerang VOC di Batavia, memilih menetap dan berdakwah.
“Masyarakat di sini dulunya penganut Hindu dan kepercayaan animisme,” jelas Munawar. “Namun perlahan, mereka memeluk Islam berkat ajaran Embah Dalem Arief Muhammad.”
Baca Juga: BRI Peduli Kembangkan Pertanian Perkotaan di Bandung Lewat Program BRInita
Keturunan Embah Dalem masih tinggal di Kampung Pulo hingga kini. Ada enam rumah adat dan satu musala—simbol dari tujuh anak beliau, enam perempuan dan satu laki-laki. Jumlah rumah tak pernah bertambah, mengikuti aturan adat yang diwariskan turun-temurun. “Kalau ada yang menikah, mereka harus keluar dari kampung. Tapi kalau orang tua mereka wafat, anak boleh kembali untuk mengisi kekosongan,” tutur Munawar.










