Merekam Ulang Jejak Harmoni di Candi Cangkuang: Wisata Sejarah yang Mengajarkan Toleransi Hindu-Islam

Selain itu, sejumlah pantangan juga dijaga ketat: tidak boleh menabuh gong besar, tidak boleh beternak hewan berkaki empat, dan tidak boleh menambah bangunan pokok di kampung. Larangan-larangan ini berakar dari kisah tragis anak laki-laki Embah Dalem yang meninggal saat upacara sunatan diiringi tabuhan gong.

Candi Cangkuang/ Humas DPD Asita Jabar.

Perpaduan Dua Warisan

Menariknya, meski kini seluruh warga Kampung Pulo beragama Islam, jejak tradisi Hindu masih melekat dalam budaya mereka. Ritual seperti memandikan pusaka, syukuran, hingga peringatan Maulid Nabi tetap dilakukan dengan nuansa lokal yang kental. “Di sini, Islam dan tradisi berjalan berdampingan. Tidak saling meniadakan,” kata Munawar.

Makam Embah Dalem Arief Muhammad/ Humas DPD ASITA Jabar

Sebuah museum kecil di kompleks candi turut memamerkan peninggalan keislaman dari masa Arief Muhammad: naskah Al-Qur’an abad ke-17 yang ditulis di atas daluang (kertas dari pohon saeh), teks khutbah Idulfitri sepanjang 167 sentimeter, dan berbagai artefak sejarah lainnya.

Dari Bandung ke Garut: Menyusuri Jalur Rel dan Religi

Kunjungan ke Candi Cangkuang menjadi agenda hari pertama rombongan Famtrip Railway West Java Rute 4 yang berlangsung pada 21–24 Oktober 2025. Sebanyak 21 peserta yang terdiri dari pelaku pariwisata dan agen perjalanan dari berbagai daerah di Indonesia hingga mancanegara berangkat dari Stasiun Bandung menaiki Kereta Papandayan Panoramic, lalu melanjutkan perjalanan dengan bus dari Stasiun Cibatu menuju Leles.