BeritaBandungRaya.com – Industri sawit Indonesia tengah berada di titik balik bersejarah.
Presiden Prabowo Subianto resmi mengambil langkah besar dengan menempatkan sekitar 3,7 juta hektare lahan sawit di bawah kendali negara, melalui pembentukan Agrinas Palma Nusantara — entitas baru yang kini disebut sebagai perusahaan sawit terbesar di dunia berdasarkan luas lahan.
Kebijakan ini disebut sebagai upaya memperkuat kedaulatan ekonomi nasional, memastikan kontrol negara atas komoditas strategis, dan mengurangi ketergantungan terhadap korporasi swasta maupun asing.
Namun di sisi lain, keputusan ini menimbulkan ketegangan baru di pasar global dan kecemasan di tingkat akar rumput.
BACA JUGA : FAO: Indonesia Naik ke Peringkat ke-3 Dunia Sebagai Penghasil Kopi Terbesar
Kekhawatiran Investor dan Efek Domino Ekonomi
Menurut laporan Reuters, sekitar 30 persen lahan sawit kini berada di bawah pengawasan militer.
Situasi ini memunculkan tanda tanya besar di kalangan investor asing, yang mempertanyakan kepastian hukum dan arah kebijakan industri sawit Indonesia ke depan.
Beberapa raksasa global seperti Wilmar dan Cargill dikabarkan mulai menarik diri dari sejumlah proyek, sementara pasar internasional waspada terhadap potensi fluktuasi harga minyak sawit mentah (CPO) akibat perubahan struktur distribusi.
Ketika Indonesia — produsen CPO terbesar dunia — mengguncang sistemnya, dampaknya terasa hingga meja perdagangan di Rotterdam dan Mumbai.
Petani Kecil di Garis Depan Ketidakpastian
Bagi para petani kecil, kebijakan ini bukan sekadar soal ekonomi nasional, tapi soal hidup dan mati.
Sebagian khawatir kehilangan hak kelola lahan akibat transisi yang belum memiliki dasar hukum yang jelas.
Jika tidak diatur secara transparan, risiko sosial seperti konflik agraria dan penurunan produktivitas bisa muncul di sentra-sentra sawit utama seperti Sumatera dan Kalimantan.












