Pada hari yang sama, melalui tim kuasa hukumnya, Nikita mengirim surat resmi kepada Presiden Prabowo Subianto. Surat berjudul *“Pengaduan Sekaligus Permohonan Perlindungan Hukum dan Jaminan Pelaksanaan Due Process of Law”* itu berisi permintaan agar negara menjamin proses peradilan yang adil dan tidak sewenang-wenang.
Dalam suratnya, Nikita meminta Presiden menugaskan pihak terkait seperti Kemenko Polhukam dan Jaksa Agung untuk memantau jalannya sidang agar tidak terjadi penyimpangan hukum. Ia juga menegaskan bahwa tuduhan pemerasan dan TPPU terhadap dirinya tidak memiliki dasar hukum yang kuat dan muncul akibat kriminalisasi.
Baca Juga: Riset Global: Indonesia Dinobatkan sebagai Negara dengan Durasi Bermain Mobile Game Terlama di Dunia
Tudingan Ketidakadilan dan Bandingkan dengan Kasus Korupsi
Melalui unggahan di akun Instagram pribadinya, @nikitamirzanimawardi_172, Senin (27/10/2025), Nikita kembali menyuarakan kekecewaannya terhadap tuntutan 11 tahun penjara yang dianggapnya tidak adil. Ia menyebut angka tersebut lebih berat dibandingkan dengan hukuman terhadap pelaku korupsi bernilai triliunan rupiah.
“Apakah keadilan kini diukur dari seberapa besar amarah penuntut umum, bukan dari seberapa kuat bukti di persidangan?” tulisnya. Ia juga menilai tuntutan tersebut “kejam” dan tidak mencerminkan nurani hukum.
Kuasa hukum Nikita menilai tuntutan itu tidak proporsional. Mereka bahkan membandingkan dengan data Indonesia Corruption Watch (ICW) yang mencatat rata-rata tuntutan terhadap terdakwa korupsi dengan kasus pencucian uang hanya berkisar 6–7 tahun penjara. “Tuntutan terhadap Nikita jauh melebihi pelaku korupsi yang jelas-jelas merugikan keuangan negara,” tegas tim hukum dalam surat terbuka mereka.
Ungkapan Emosi di Media Sosial
Menjelang vonis, Nikita menulis pesan panjang di media sosial yang mencerminkan kelelahan dan kekecewaan terhadap proses hukum yang dijalaninya. Ia mengaku merasa tidak diadili berdasarkan bukti, melainkan oleh “perasaan dan asumsi.”










