Refleksi Filosofis: Arti Bertahan Hidup
Jika season 2 menggali makna Borderland sebagai ruang antara hidup dan mati, maka season 3 menggali dampak psikologis dan filosofis dari pengalaman itu. Para pemain kini tidak hanya berusaha selamat, tapi juga menghadapi dilema eksistensial: Apa arti bertahan hidup? Apa yang harus dikorbankan untuk melangkah maju?
Pertanyaan-pertanyaan itu menjadi benang merah di setiap episodenya. Di tengah kekacauan dan darah, terselip refleksi tentang ketakutan, kehilangan, dan harapan — menjadikan serial ini lebih dari sekadar thriller aksi, tapi juga drama psikologis yang menyentuh.
Karakter Baru dan Konflik Emosional
Kehadiran tokoh baru bernama Ryuji memberi warna segar pada cerita. Ia digambarkan sebagai sosok jenius dengan trauma masa lalu yang mendalam, menjadikannya karakter kompleks yang menambah kedalaman narasi.
Meski begitu, tidak semua berjalan mulus. Episode pembuka terasa agak lambat karena terlalu fokus pada dunia nyata, sementara episode kelima sempat kehilangan tempo akibat adegan emosional yang berkepanjangan. Tapi kelemahan itu justru memberi ruang bagi penonton untuk semakin memahami sisi manusiawi para karakter.
Final yang Memuaskan, tapi Masih Menyimpan Misteri
Enam episode Alice in Borderland Season 3 menyajikan keseimbangan antara aksi menegangkan, drama emosional, dan pesan filosofis. Netflix juga tampak berhasil mempertahankan kesetiaan pada manga asli tanpa kehilangan kebebasan kreatifnya.
Akhir musim ini kembali menutup cerita dengan teaser misterius tentang kartu Joker, memunculkan spekulasi: apakah akan ada season 4 atau bahkan spin-off baru? Melihat kualitas musim ketiga, sepertinya semesta Alice in Borderland masih punya banyak hal untuk dieksplorasi.