BeritaBandungRaya.com – Nilai tukar rupiah mulai menunjukkan sinyal penguatan setelah sempat terpuruk di bulan April. Namun, kekhawatiran terhadap tekanan eksternal dan melambatnya laju ekonomi masih membayangi.
Berdasarkan data Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), rupiah menguat 1,24 persen pada Selasa (6/5/2025), berada di level Rp16.472 per dollar AS. Ini menandai pembalikan tren dari posisi terendah sebelumnya di angka Rp16.943.
Bank Indonesia (BI) mengamati tren penguatan ini seiring dengan stabilisasi di pasar negara berkembang seperti Taiwan dan Hong Kong. Kepala Departemen Pengelolaan Moneter dan Aset Sekuritas BI, Erwin Gunawan Hutapea, menyatakan bahwa BI akan terus menjaga stabilitas nilai tukar melalui intervensi terukur dan pendekatan pasar yang sehat.
“BI akan tetap aktif di pasar demi menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan,” ujarnya.
BACA JUGA: 3 Juta Ancaman Siber Incar Pengguna Internet Indonesia
Respons Pasar dan Arus Modal Asing
Penguatan rupiah turut dipicu oleh ekspektasi pelonggaran kebijakan moneter di negara maju, khususnya Amerika Serikat. Dalam periode 28-30 April 2025, aliran modal asing ke pasar keuangan domestik tercatat beli neto Rp4,15 triliun—terbesar berasal dari instrumen Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Namun secara keseluruhan, sepanjang tahun 2025 hingga akhir April, pasar domestik masih mengalami jual neto Rp38,6 triliun, menandakan investor asing belum sepenuhnya kembali.
Sinyal dari The Fed dan Dampaknya ke Dalam Negeri
Bank Sentral AS, The Fed, akan mengumumkan keputusan suku bunganya pekan ini. Para analis memperkirakan tidak ada perubahan dari level 4,25–4,5 persen, di tengah ketidakpastian akibat kebijakan tarif Presiden Donald Trump yang berisiko memicu inflasi dan pengangguran.
Menurut peneliti Indef Abdul Manap Pulungan, keputusan The Fed ini kemungkinan hanya berdampak jangka pendek. Ia menyoroti pentingnya mewaspadai potensi dampaknya terhadap imbal hasil SBN dan daya beli bahan impor.