Meski begitu, sambung Siska, potensi tersebut dapat terhambat jika generasi muda menikah di usia anak. Berbagai risiko akan muncul ketika menikah di usia anak. Di antaranya putus sekolah yang membatasi akses mereka terhadap pendidikan dan peluang kerja yang lebih baik. Dari segi kesehatan juga berisiko tinggi mengalami masalah kesehatan reproduksi serta permasalahan dalam kehamilan dan persalinan seperti kematian ibu dan bayi, bayi lahir dengan berat badan lahir rendah (BBLR), stunting, serta resiko lainnya karena kurangnya pengetahuan tentang asupan gizi dan pengasuhan yang baik.
“Mesti terus menurun, angka perkawinan anak di Jawa Barat saat ini masih cukup tinggi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan pada 2024 prevalensi perkawinan anak di Jawa Barat sebesar 5,78 persen. Sementara itu, berdasarkan data Pengadilan Tinggi Agama Bandung, jumlah pengajuan dispensasi kawin di Jawa Barat pada 2024 yang dikabulkan juga masih tinggi, yaitu 3.631 kasus,” ungkap Siska.
“Itu yang tercatat mengajukan dispensasi. Realitanya, perkawinan anak masih banyak terjadi di berbagai daerah tanpa mekanisme dispensasi atau dilakukan secara siri,” Siska menyesalkan.
BACA JUGA: Mau Kuliah Tanpa Tes? Ini Daftar Jalur Mandiri PTN 2025 yang Sudah Dibuka
Di sisi lain, perundungan (bullying) menjadi salah satu persoalan penting bagi anak dan remaja di Jawa Barat. Perilaku bullying sangat berbahaya dan berdampak negatif baik bagi korban maupun pelaku. Dia mengingatkan, perundungan bukan sekadar tindakan iseng atau candaan, tapi bisa meninggalkan luka yang dalam yang tidak terlihat oleh mata.