“Pada korban seringkali berdampak pada kesehatan mental seperti kecemasan, stres, depresi hingga keinginan untuk bunuh diri. Selain itu, bullying juga berdampak pada prestasi akademik dan juga perilaku sosial lainnya,” Siska mengingatkan.
Berdasarkan data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA), sepanjang 2024 tercatat 1.971 kasus kekerasan terhadap anak di Jawa Barat dengan jumlah korban sebanyak 2.259 anak. Dari jumlah tersebut, terdapat kasus yang terjadi di lingkungan sekolah sebanyak 280 kasus.
“Dalam kondisi rentan ini, tidak jarang juga korban perundungan mencari jalan keluar yang salah seperti memilih untuk menikah dengan harapan bisa lepas dari tekanan. Cara ini dianggap memberi rasa aman atau mendapatkan pengakuan yang selama ini tidak mereka rasakan di sekolah. Padahal, kita semua tahu bahwa pernikahan usia anak justru membawa mereka kepada tantangan dan permasalahan baru,” ujar Siska.
BACA JUGA: Sudah Lolos SNBP 2025 dan Daftar KIP Kuliah? Ini Tahapan Lanjutannya
Karena itu, sambung Siska, permasalahan perkawinan anak dan bullying perlu ditangani secara sistematis dan menyeluruh. Ini penting karena akan berdampak pada permasalahan lainnya yang lebih kompleks, mulai dari terhambatnya pendidikan, terganggunya kesehatan mental dan fisik, serta sosial ekonomi lainnya.
“Kondisi ini pada akhirnya akan mempengaruhi kualitas dan daya saing SDM kita. Penanganan permasalahan perkawinan anak dan bullying ini perlu sinergi dari berbagai sektor, terutama dunia pendidikan sebagai garda terdepan dalam membentuk pola pikir dan perilaku generasi muda. Sekolah tidak hanya menjadi tempat menimba ilmu tetapi juga menjadi ruang aman bagi anak-anak bertumbuh secara sosial, emosional, dan intelektual,” tandas Siska.***