Di tengah kondisi batin yang rapuh, Isa kembali terseret dalam pusaran perjuangan. Ia dan Hazil merencanakan aksi besar: meledakkan bioskop di kawasan Pasar Senen, tempat para pejabat NICA Inggris dan Belanda biasa berkumpul, termasuk Gubernur Jenderal Van Mook. Namun dalam prosesnya, Hazil berkhianat, membocorkan identitas rekan-rekan seperjuangan mereka.
Fatimah pun akhirnya meninggalkan Isa, membawa serta bayinya. Tinggal seorang diri, Isa menghadapi kehancuran total—baik dalam cinta, persahabatan, maupun perjuangan. Namun dari keterpurukan itu, ia menemukan makna baru tentang kemerdekaan yang sejati: bukan sekadar lepas dari penjajahan, melainkan juga kemampuan untuk berdamai dengan luka dan diri sendiri.
Film ini tak hanya menyuguhkan ketegangan politik dan aksi heroik, tetapi juga menggali sisi psikologis para tokohnya. Penonton diajak menyelami kompleksitas emosional yang dihadapi oleh Isa, Fatimah, dan Hazil di tengah kekacauan Jakarta pasca-proklamasi.
Dengan sinematografi yang memukau dan atmosfer autentik era 1940-an, Perang Kota berhasil menghidupkan suasana kota yang porak-poranda akibat serangan militer. Gang sempit, rumah kayu, kendaraan zaman dulu, hingga nuansa kolonial terasa hidup berkat perhatian detil yang teliti dari tim produksi.
Menariknya, Perang Kota merupakan proyek kolaborasi lintas negara yang melibatkan sineas dari Indonesia, Belanda, Amerika, dan bahkan pengisian audio dilakukan di studio di Prancis. Kolaborasi ini menjadikan Perang Kota sebagai salah satu film produksi internasional terbesar Indonesia tahun ini.